Filosofi Teras, Stoikisme : "Tetap bahagia Di Tengah-tengah Realita"

 

FILOSOFI TERAS, STOIKISME:

“TETAP BAHAGIA DI TENGAH-TENGAH REALITA”

Penulis: Mgs Gunawan

                  Source: Pexels.com

 

Sudut Berbeda Dari Deskripsi Realita

Apa yang ada dipikiran anda sepintas saat membaca kalimat “tetap bahagia di tengah-tengah realita” ?. Penulis sendiri meyakini, tak sedikit pembaca budiman sekalian menganggap bahwa ini bakal berujung pada kepasrahan atau ketidakberdayaan. Menariknya, pada kesempatan baik ini kita bisa melihat definisi dari sudut berbeda terhadap kata “realita”, terlepas dari apa yang terjadi pada hal itu baik pengaruh positif ataupun pengaruh negatif dalam kehidupan kita. Benar, bahwa tak selamanya apa yang kita sering dengar “ya realitanya kan begini, kan begitu…” tersebut hal-hal bersifat negatif. Pun tak selamanya pernyataan tersebut merupakan kejadian yang bersifat positif juga.

Gagasan Awal Stoikisme

Pada awal abad ke-3 SM, di sebuah Kota Yunani Kuno tepatnya di Athena muncul sebuah gagasan tentang pengendalian diri dari hal-hal buruk yang berasal dari dalam diri manusia (emosi negatif). Stoikisme atau biasa disebut Stoa merupakan pengetahuan mengenai kebijaksanaan diri pada kehendak atas emosi negatif yang muncul dan dipilih untuk dilakukan atau diacuhkan. Emosi-emosi negatif ini ada dan muncul dari internal diri manusia sendiri. Rasa kurang percaya diri, insecure, kesedihan, amarah emosional, cemburuan, overthinking, dan ketakutan berlebihan merupakan sikap dan sifat negatif dari internal diri.

Relevan Dengan Kondisi Milenial Saat Ini

Bila kita lihat dari kalimat diatas, rasanya sangat relevan dengan kehidupan saat ini dimana sering kita jumpai atau bahkan kita merasakan sendiri beberapa hal dari emosi negatif tersebut. Saat bermain media sosial misalnya, sering kita merasa seperti sangat tertinggal dalam segi apapun dari orang lain. Outfit mewah ala public figure, snap atau story travelling teman-teman media sosial kita yang bertajuk healing, atau jumlah followers media sosial yang sangat banyak dibanding kita, serta serba-serbi lain yang seolah-olah kehidupan ini benar-benar berpihak pada mereka sedangkan terhadap kita seperti nya berpaling jauh.

Belum lagi pada pekerjaan misalnya, tekanan pimpinan kantor, tugas-tugas pekerjaan yang menumpuk yang dikejar deadline, perjalanan ke kantor yang membosankan atau bahkan menyebalkan, ketakutan akan PHK, persaingan kenaikan jabatan, keluhan gaji yang tidak sesuai serta kurangnya waktu libur. Sering memunculkan emosi negatif dalam internal diri kita. Bagi mahasiswa misalnya, keharusan menyelesaikan studi tepat waktu, mengerjakan tugas sebaik mungkin, tekanan bimbingan skripsi, dan beberapa hal lain yang akhirnya juga berpotensi menimbulkan emosi negatif.

Rasa-rasanya bila beberapa hal diatas kita alami, filosofi teras adalah salah satu jawaban yang cocok bagi kita untuk tetap atau bisa “bahagia di tengah-tengah realita” tersebut. Menurut kalian apa sih bahagia itu? Bagi penulis, bahagia merupakan kehendak diri untuk tetap berada pada koridor bebas dan nyaman tanpa tekanan, tuntutan, doktrin, juga pengaruh sehingga meskipun berat dan sulit kita tetap bisa tersenyum lega. Dalam ajaran agama, mungkin bahagia sering dikaitkan dengan rasa penerimaan dan syukur kita atas apa-apa yang ada di diri kita juga atas apa yang akan diberikan kepada kita.

Filosofi Teras, Kita Bisa Memilih Untuk Bahagia. Ada dua hal penting dari filosofi teras, kedua hal ini juga berujung pada tujuan dari filsafat stoikisme sendiri. Pertama, kita dapat memilih untuk hidup bebas dari emosi negatif (insecure, takut, cemburu, kesedihan, dll). Tujuan pertama ini tentu hanya dapat diperoleh bila kita mau dan mampu mengendalikan internal diri kita. Hal yang sebenarnya muncul dipikiran kita, dapat kita pilih untuk mengabaikan atau memikirkannya terus menerus. Misalnya saat saya menulis tulisan mengenai filosofi teras ini, hal-hal yang dapat saya kendalikan adalah apa yang ada di internal diri saya saja. Saya tetap menulis tanpa terlalu mengkhawatirkan pendapat atau komentar orang lain terhadap tulisan saya. Memilih menulis tanpa terlalu khawatir atau terlalu peduli bagaimana efek nya nanti merupakan faktor internal yang dapat saya kendalikan. Sedangkan, bagaimana pendapat atau komentar orang terhadap tulisan saya adalah faktor eksternal yang tidak dapat saya kendalikan atau sepenuhnya diluar kendali saya.

Maka kebijaksanaan dan ketentraman saya hanya dapat diperoleh dari fokus saya terhadap hal-hal yang bisa saya kendalikan. Apa yang bisa saya kendalikan? Tentunya adalah emosi negatif saya, bukan faktor eksternal dalam diri saya.

Tujuan Kedua, hidup dengan kebaikan. Penulis sendiri memahami hal ini sebagai “hidup-hiduplah dengan sebenar-benarnya hidup”. Terlepas dari apa yang dapat kita kendalikan dan apa yang ada diluar kendali kita, memanusiakan diri kita adalah hal penting yang harus kita lakukan dan kita miliki. Akar yang kuat dari penerapan filosofi teras justru adalah ketika kita mampu memanusiakan diri kita sendiri. Kemudian, saat waktunya tiba kita dapat mengimplementasikannya pada kehidupan yang lebih luas melalui kepemimpinan.

Dalam bukunya yang berjudul “Filosofi Teras”, Henry Manampiring (2019) menuliskan sajian luar biasa berupa “…damai dan tentram ini kokoh karena berakar dari dalam diri kita, bukan pada hal-hal eksternal yang bisa berubah, hancur, atau direnggut oleh kita…”

 

Sekian dulu untuk Chapter kali ini, bagian terpenting dari tulisan adalah tanggapan para pembaca yang dapat anda tuangkan pada kolom komentar. Terimakasih

Sampai ketemu di Chapter berikutnya, mari Bahagia.

1 Komentar

Gunakan kata yang baik dan sopan dalam berkomentar ya

Posting Komentar

Gunakan kata yang baik dan sopan dalam berkomentar ya

Lebih baru Lebih lama