Cerpen "Rasa Percaya"

 

rasa percaya




Di tengah beban kerjaku sebagai seorang wartawan, aku malah dipusingkan oleh persoalan hati akibat sikap seorang wanita yang tidak henti-hentinya mengharapkan cintaku. Ia terus berusaha meluluhkan perasaanku, seolah-olah aku akan berbalik hati dan menerimanya untuk menjadi pasangan hidupku. Padahal, sungguh, aku merasa tak akan bisa berpaling kepadanya. 


Ia memang tampak sangat mengidamkanku. Setelah sekian lama aku bersikap dingin, ia tak juga berkecil hati. Bahkan setelah aku mengisyaratkan ketidaktertarikanku, ia pun tak patah harapan. Sampai akhirnya, aku memutuskan berhenti menjadi karyawan di sebuah perusahaan penerbitan tempat kami bekerja. Aku kira, jarak di antara kami akan melunturkan perasaannya terhadapku.


Namun semua upayaku tampak sia-sia. Setelah menghindarinya dan tak berkomunikasi dengannya selama tujuh bulan, tiba-tiba, empat bulan lalu, ia meneleponku. Ia terus mengulang panggilannya setelah aku berkeras mengabaikannya. Hingga akhirnya, aku iba dan pasrah untuk meresponsnya pada pangilan ketujuh, sembari beralasan kalau aku hanya tidak sedang memegang ponselku.


"Apa kau tak merindukanku?" tanyanya, setelah kami berbasa-basi dengan saling berbagi kabar. 


"Sebagai teman, ya, aku tentu merindukanmu, Nina," tanggapku, sekenanya, dengan perasaan malas. 


Ia pun terdengar mendengkus keras, seolah-olah kecewa atas jawabanku. "Apakah kau tak pernah merindukanku lebih dari sekadar sahabat?"


"Maksudmu?" tanyaku, pura-pura tidak memahami arah pertanyaannya. 


Jeda beberapa detik sampai akhirnya, ia bertutur tegas, "Aku menyukaimu, Jim! Aku merindukanmu sebagai orang yang kucintai! Aku ingin menjadi kekasihmu! Hanya Kau! Tidakkah Kau merasakan hal yang sama terhadapku?"


Perasaanku pun tersentak mendengar kejujurannya. Aku bingung meramu jawaban untuknya. Aku tak menyangka kalau ia akan senekat itu. 


"Aku jatuh hati kepadamu, Jim. Tidak hanya karena rupamu, tetapi juga karena kepribadianmu yang baik. Kau sempurna di mataku, dan aku ingin menjadi pasangan hidupmu. Aku ingin menjadi istrimu!" sambungnya.


"Maafkan aku, Nina. Kukira, kau pun bisa mengerti kalau perasaan tidak bisa dipaksakan dan aku harus jujur, bahwa aku tak punya perasaan lebih dari sekadar sahabat terhadapmu," balasku, dengan perasaan setengah tega.


Sayup-sayup, ia terdengar menangis. Ia menjeda sekian detik untuk mengurai air matanya. Hingga akhirnya, ia merespons dengan nada lemah, "Ya, aku mengerti. Aku tak mungkin memaksamu untuk mencintaiku.” Ia lantas menghembuskan napas yang panjang. "Maaf jika kau tidak berkenan. Maaf juga jika selamanya, aku akan tetap mengharapkan cintamu," pungkasnya, lantas menutup telepon.


Akhirnya, setelah percakapan itu, aku memahami kalau ia benar-benar menggilaiku. 


Hari demi hari kemudian, aku pun menyaksikan kalau ia masih tak juga berhenti melakukan pendekatan terhadapku. Ia tetap saja menghubungiku lewat telepon atau media sosial untuk membagikan ceritanya, seolah-olah aku akan peduli. Ia bahkan kerap memintaku untuk bertemu, dan sesekali kuiyakan, yang membuktikan kalau ia sungguh tak bisa menahan rindunya. 


Tetapi kini, ia memang tak semestinya lagi mendambakanku, dan aku pun seharusnya kukuh mengabaikannya. Ia sebaiknya melepaskanku, dan aku sepatutnya menutup harapannya. Itu karena aku telah terikat dalam hubungan yang spesial dengan seorang perempuan yang lain, yang benar-benar kucintai dan kuimpikan untuk menjadi istriku kelak.


Atas keadaan itu, kadang-kadang, aku mempertanyakan jalan perasaanku sendiri. Aku tak mengerti kenapa aku tak bisa membalas perasaannya. Padahal, secara kasatmata, ia adalah perempuan yang memiliki rupa dan sikap yang cukup memenuhi kriteriaku. Ia terbilang cantik dan baik hati. Ia tampak bisa menjadi pendamping hidup yang menyenangkan. 


Kebaikan dan kecantikannya itu,terbukti. Aku tahu kalau beberapa lelaki pernah menjadi kekasihnya. Sejak dan selama aku mengenalnya sebagai sesama mahasiswa di sebuah fakultas pada satu kampus negeri di kota ini, aku tahu kalau ia telah berpacaran dengan tiga lelaki yang tampan dan kaya raya, yang membuat gaya hidupnya pada waktu-waktu itu, jadi terbilang glamor.


Dan saat kami sekantor di sebuah perusahaan penerbitan, aku pun tahu kalau beberapa lelaki tertarik kepadanya, entah berdasarkan pembacaanku sendiri, atau berdasarkan ceritanya kepadaku. Tetapi ia mengaku tak punya niat dan kemauan untuk terikat dalam hubungan yang istimewa dengan mereka. Sampai akhirnya, aku paham kalau itu terjadi karena akulah yang ia inginkan.


Kini, aku kebingungan untuk membuatnya kehilangan ketertarikan kepadaku, seolah memang tak ada cara untuk membutakan cintanya yang buta. Tentu aku tak tega merusak diriku dengan menjadi buruk rupa dan buruk laku, supaya ia kehilangan hasrat terhadapku. Karena itu, aku menyerah saja, sembari berharap waktu menghadirkan keadaan yang membuat cintanya mati dengan sendirinya. 


Tetapi aku tak ingin terus-menerus memusingkan sengkarut persolan hati itu. Bagaimanapun, aku mesti menjaga fokusku untuk menunaikan tugasku sebagai wartawan. Untuk itu, aku terus berupaya untuk memerhatikan kepentinganku, sembari belajar mengabaikan kepentingannya. Aku membiasakan diri untuk mengasihani perasaanku dan tak lagi mengacuhkan perasaannya. 


Prinsip itu pun mesti kuterapkan kali ini. Aku harus berkonsentrasi untuk menunaikan liputanku perihal maraknya aksi prostitusi melalui jalur daring di kota ini. Sesuai rencana pemberitaan, aku akan melakukan penelusuran untuk menguak akar permasalahan dalam persoalan pelacuran, termasuk dari perspektif wanita tunasusila yang rela memperdagangkan harga dirinya.


Demi tugas itu, aku pun mesti berlaku layaknya seorang lelaki hidung belang. Lewat seorang mucikari, aku lantas memesan seorang wanita yang telah lama melakoni pekerjaan haram tersebut. Dan setelah bertemu dan menerangkan maksudku, sang wanita pilihanku pun mengerti. Ia bersedia kuwawancarai di sebuah kamar penginapan setelah sepakat untuk sejumlah bayaran. 


Namun seketika, aku terheran setelah mengetahui latar belakangnya. Aku kemudian lekas membaca wajah di balik riasan tebalnya, hingga aku menyadari kalau aku telah mengenalnya sebagai mahasiswi sekampusku dahulu, tetapi berbeda fakultas. Ia tak lain adalah teman baik Nina di sebuah organisasi kedaerahan. Ia kerap ke fakultasku untuk menemui Nina. 


Mirisnya, ia yang telah lama ditinggal pergi suaminya itu, mengaku melacur sejak masih kuliah. Itu berawal saat seorang teman baiknya mengenalkannya pada dunia gelap tersebut.Iapun tergoda untuk ikut demi mengongkosi keperluan kuliahnya, juga untuk bersenang-senang di tengah kota. Ia sempat berhenti, tetapi ia kembali melakukannya demi menghidupi dua orang anaknya. 


"Tak ada yang ingin hidup dengan pekerjaan seperti ini. Namun tuntutan ekonomi dan kebutuhan hidup, memaksaku untuk melakukannya," tuturnya, dengan raut sayu yang menyiratkan kepasrahan, setelah aku mempertanyakan alasannya. 


Aku pun jadi prihatin. Aku bisa merasakan pergolakan batinnya. "Apa kau ada rencana untuk berhenti selamanya?"


Ia mengangguk tegas. "Tentu saja." Ia lantas tersenyum pilu. "Aku harap, suatu saat, aku kembali ke jalan yang benar seperti beberapa temanku yang juga melakukan pekerjaan semacam ini di masa dahulu. Aku pun ingin mendapatkan pekerjaan yang baik dan menjamin untuk kehidupanku dan anak-anakku, sehingga aku hidup tenang dan sanggup meninggalkan pekerjaan ini."


Dengan rasa peduli, aku pun mengaminkan harapannya di dalam hati. Aku lantas memikirkan pertanyaan lain untuk memperdalam liputanku. Tetapi tiba-tiba, dobrakan menghantam pintu kamar kami yang memang tak terkunci. Tanpa permisi, sejumlah anggota satpol PP dan orang berpakaian dinas, menerobos masuk. Di antaranya, ada yang tampak merekam dengan kamera. 


Mereka lantas meminta kartu identitas kami, sembari melontarkan tudingan-tudingan bahwa kami telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Aku lekas menyangkal dengan menjelaskan bahwa aku adalah wartawan yang tengah melakukan peliputan, dan sang janda pun membenarkan. Tetapi mereka tetap menuduh, hingga kami digiring untuk didata oleh pihak dinas sosial.


Akhirnya, aku pasrah saja. Aku menerima kesialanku yang berada di waktu dan tempat yang salah. Tetapi aku jadi tak sudi juga setelah menyaksikan video penggerebekan itu menyebar di media sosial dan memampang jelas wajahku dan wajah sang wanita panggilan, seolah-olah kami tepergok berbuat mesum. Aku jelas tak ingin nama baikku hancur, terutama di mata kekasihku. 


Cepat-cepat, aku lantas menelepon kekasihku itu. Aku ingin memberikan penjelasan kepadanya sebelum kesalahpahaman membuatnya berpikiran tidak-tidak. Tetapi setelah melakukan panggilan sebanyak empat kali, ia tak juga menjawab. Sampai akhirnya, ia mengirimiku pesan singkat: Aku sudah tahu apa yang terjadi. Kau ternyata seburuk itu. Jangan hubungi aku lagi! 


Seketika pula, perasaanku terpuruk menyaksikan orang yang kucintai kehilangan kepercayaan terhadapku. 


Di tengah kekalutanku, tiba-tiba, ponselku berdering. Nina sedang memanggil. Dengan maksud untuk sekadar membunuh waktu, aku pun pasrah untuk meresponsnya. 


"Kau di mana? Kau baik-baik saja, kan?" tanyanya kemudian. 


Aku pun merasa aneh mendengar tanyanya yang bernada perhatian di tengah hubungan kami yang makin membiasa. Aku lantas menjawab dengan setengah berbohong, "Aku sedang makan di warung. Aku baik-baik saja. Memangnya kenapa?"


"Aku sudah tahu tentang kabar-kabar miring yang menyebar tentangmu. Tetapi aku tak percaya. Aku mengenalmu secara baik. Aku tahu kalau kau tidak seperti yang dituduhkan orang-orang," tuturnya, yang seketika kupahami kalau ia menyinggung perihal video kebersamaanku dengan sang wanita tunasusila. 


Untuk sesaat, aku merasa terkesan mendapatkan pembelaan darinya. Tetapi perlahan-lahan, aku malah makin heran atas kepercayaannya kepadaku yang seolah tak bersyarat. Karena itu, aku pun menyidik, "Kamu kok berpikir begitu? Bagaimana kau bisa yakin kalau aku tidak seperti yang dikatakan orang-orang?"


Seketika, iapun kembali menegaskan penyataannya dahulu, "Itu karena aku mencintaimu!"


Aku sontak kelimpungan menanggapi keteguhan hatinya terhadapku. Aku pun diam saja.


Selama sekian detik, tak ada suara di antara kami. Hingga akhirnya, ia memutuskan sambungan telepon.


Dan tiba-tiba, tanya-tanya bermunculan di dalam benakku perihal dirinya dan sang wanita penjaja tubuh yang merupakan teman baiknya dahulu.***



Cerpen yang berjudul Rasa Percaya ini ditulis oleh:

Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).


Post a Comment

Gunakan kata yang baik dan sopan dalam berkomentar ya

Lebih baru Lebih lama